Ini kisah Liburan akhir tahun 2013 ku bersama sepupu-sepupu ku, sekaligus belajar sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Sebelumnya izinkan ku mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014
Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang terletak di depan Gedung Agung dan istana Kesultanan Yogyakarta. Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.
Arsitektur
Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat
dilihat hingga sekarang.
Benteng berbentuk persegi ini
mempunyai menara pantau (bastion) di keempat sudutnya.
Sejarah
Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri
terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti
13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan
Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah
merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam
negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Besarnya kekuatan yang tersembunyi
dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak
Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin
pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan
Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng
dikabulkan.
Sudut Barat Daya Museum Benteng
Vredeburg dengan tiga patok yang berfungsi untuk meletakan meriam
Tahun 1760
– 1765
Sebelum dibangun benteng pada
lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760
atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat
sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan
yang disebut seleka atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi
nama Jayawisesa (sudut barat laut),
Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat
daya) dan Jayaprayitna (sudut
tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Hartingh,
bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah
yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren.
Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu
W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765
diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih
permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya
pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu
bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.
Pada awal pembangunan ini (1760)
status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan
kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolas Hartingh, gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang.
Tahun 1765
– 1788
Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan
tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih
terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.
Menurut rencana pembangunan tersebut
akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses
pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal
ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan
tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton
Yogyakarta. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut
diberi nama Rustenburg yang
berarti 'Benteng Peristirahatan'.
Pada periode ini secara yuridis
formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto penguasaan
benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda.
Tahun 1788
– 1799
Periode ini merupakan saat
digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799
menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic
(Pemerintah Belanda). Sehingga secara de
facto menjadi milik pemerintah kerajaan
Belanda.
Pada periode ini status tanah
benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai
Belanda.
Tahun 1799
– 1807
Status tanah benteng secara yuridis
formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto
menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van
Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.
Tahun 1807
– 1811
Pada periode ini benteng diambil
alih pengelolaannya oleh Koninklijk Holland (Kerajaan Belanda). Maka secara
yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto
menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Herman Willem Daendels.
Tahun 1811
– 1816
Ketika Inggris berkuasa di Indonesia
1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih.
Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.
Tahun 1816
– 1942
Pada tahun 1867 di Yogyakarta
terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan
besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu
Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta
bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun
kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian
bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng
Perdamaian'. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan
Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal
mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang
penjagaan yang disebut seleka
atau bastion. Pintu gerbang
benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat
bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang
mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati
sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan paramedis. Disamping itu
pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan
para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan
karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.
Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke
waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan
Benteng Vredeburg.
Status tanah benteng tetap milik
kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena
kuatnya pengaruh Belanda
maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan
atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942
setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.
Masa
Jepang
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah
Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah
tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan
(Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung
Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang
disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg.
Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu
tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga
digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo
Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap
karena mengadakan gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata,
tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke
pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang
mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu
dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin.
Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah
disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng
Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika
proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai
Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh
Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan
bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan
sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang
Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
Masa
Kemerdekaan
1945-1970-an
Berita tentang proklamasi
kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat
Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX
(Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri
Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas
berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin
berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai
aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan
juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di
Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di
Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik
Jepang, Benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi.

Setelah benteng dikuasai oleh pihak
RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada instansi militer yang
kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam
pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang
bertugas mengurusi perbekalan militer. Oleh karena itu tidak mustahil bila pada
periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai
gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu, dan sebagainya. Pada tahun 1946 di
dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan rumah sakit tentara untuk melayani
korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga
melayani tentara beserta keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik
Indonesia mengalami kerawanan di saat perbedaan persepsi akan arti revolusi
yang sedang terjadi. Meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli
1946”, yaitu percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono.
Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa
tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai
tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu
dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda.
Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan
terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan
Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng
Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara
Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen), yaitu dinas
rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan
sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan senjata berat
seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya.
Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949,
sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama
dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara
bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti kantor pos, stasiun kereta
api,Hotel Toegoe,Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 enam jam kota Yogyakarta dapat
dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang.
. Baru setelah bala bantuan tentara
Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan
melakukan perjuangan gerilya.
Setelah Belanda meninggalkan kota
Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan
Perang Republik Indonesia).
Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer
Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara
pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai
ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa
“Tragedi Nasional” Pemberontakan G
30 S tahun 1965. Waktu itu untuk sementara
Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan
peristiwa G 30 S yang langsung berada di bawah pengawasan Hankam.
Rencana pelestarian bangunan Benteng
Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi
kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan
Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha ke arah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Tahun 1977
– 1992
Dalam periode ini status penguasaan
dan pengelolaan benteng pernah diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah
Daerah Yogyakarta. Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam
perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan
HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daoed
Joesoef (pihak II).
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah
dipergunakan sebagai ajang Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan
latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnisun 072serta markas TNI AD
Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik
kasultanan.
Dengan pertimbangan bahwa bangunan
bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan bersejarah yang sangat
besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg ditetapkan
sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981.
Tentang pemanfaatan bangunan Benteng
Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
(Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas
Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan nasional yang
pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Piagam perjanjian serta surat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan
bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam kompleks
benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum.
Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian dijadikan
museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum.
Tahun 1992
sampai sekarang
Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI
Prof. Dr. Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi
Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum
Benteng Yogyakarta.
Untuk meningkatkan fungsionalisasi
museum ini maka mulai tanggal 5 September 1997 mendapat limpahan untuk
mengelola Museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum
Negeri Propinsi DIY Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Nomor KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum
Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan
di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003
tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai
Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit
Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan
Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan,
perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan
memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
ayooo jangan takut dan malu untuk berwisata ke museum seru kok, selain dapat ilmu dan pelajaran sejarah, banyak objek-objek yang unik dan bagus yang bisa di foto.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar